31 Maret 2009

Renaisance Intelektual Muda Muslim di Indonesia

“InsyaAllah kejayaan yang pernah kita miliki seribu tahun yang lalu akan kita kembalikan lagi, dan saya berharap Indonesia akan menjadi
pemimpin kebangkitan Islam ini
(Prof. Dr. Yusuf Al-Qaradhawi)

Terlepas dari terlalu berlebihan atau tidak apalagi untuk sekedar latah, tapi tema ini anggap saja menjadi bagian yang kemudian melahirkan ruang-ruang optimisme, sumber energi, atau bahkan bisa jadi memperjelas dan mempertegas orientasi dari keniscayaan peran dan tugas kita sebagai seorang intelektual muslim yang kita emban.
Kalaulah kita sepakat bahwa kejayaan Islam adalah kejayaan yang dihiasi dengan tingginya produktivitas para ilmuwan dan pemikir Islam dalam menghasilkan karya-karya ilmiah mereka, sebutlah Ibnu Sina (kedokteran), Ibnu Khaldun (filsafat sejarah), Al-Ghazali (tasawuf), Al-farabi, Ar-Razi, dan sebagainya. Maka tugas-tugas intelektual kita merupakan sebuah aksioma atau keniscayaan untuk awalan cita-cita besar yaitu Renaisance Intelektual Muda Muslim.
Tidak berlebihan juga ketika Prof. Yusuf Qharadhawi berharap bahwa Indonesia akan menjadi pelopor dari lahirnya peradaban itu (Islam), dan menurut saya ungkapan itu bukan tanpa alasan tapi merupakan penilaian yang rasional dan obyektif, setidaknya ada beberapa hal yang menjadi argumentasi itu, pertama, Indonesia adalah Negara yang mayoritas Muslim terbesar di dunia, kedua, geliat pergerakan Islam di Indonesia, bahkan gerakan Islam yang terlibat dalam konstelasi politik mulai mendapat simpati kembali, yang di satu sisi mulai menjadi competitor serius bagi gerakan politik nasionalis, yang selama ini menjadi penguasa di republik ini, ketiga, beberapa gerakan Islam yang memiliki visi internasional dan concern dengan issu-issu global, yang dianggap menjadi kekuatan yang mengancam kekuatan politik global. Argumentasi ini seharusnya juga disadari umat Islam di Indonesia untuk menangkap semangat zaman (zet geits) itu dan mengambil kendali serta menjadi nakhoda bahtera peradaban yang lebih baik.
Namun, sekedar refleksi bagi kalangan intelektual muslim saat ini adalah harus diakui secara jujur bahwa kita sudah tercerabut dari akar ke-Islaman kita. Pada konteks ilmu pengetahuan, referensi basis epistimologis (ilmu tentang pengetahuan manusia) atau worldview dan metodologi, para intelektual Muslim kita tidak sedikit yang berpijak pada epistimologis dan metodologi sekuler barat dalam melakukan penafsiran-penafsiran terhadap Islam, sehingga wajar jika kemudian tafsiran yang lahir adalah tafsiran yang bersandarkan pada nilai-nilai sekuler. Realitas ini kemudian melahirkan krisis yang serius dalam perkembangan basis pemikiran dan pengetahuan di kalangan umat Islam. Yang terjadi adalah kehilangan jati diri, tereduksinya kepercayaan diri, terkikisnya keyakinan akan Islam sebagai agama yang memiliki ajaran dan nilai-nilai yang relevan dan kontekstual dengan kondisi kekinian. Sebetulnya dalam filsafat Islam, Islam memberikan ruang-ruang yang cukup besar kepada akal untuk melakukan ijtihad atau upaya rasional yang sungguh-sungguh sehingga Islam tetap bisa dikontekstualisasikan dan menjawab persoalan up to date manusia saat ini. Namun, yang menjadi catatan adalah ijtihad itu harus berpijak pada epistimologis dan metodologi Islam, sehingga tidak terjadi pemaksaan-pemaksaan tafsiran yang rapuh dan terbantahkan.
Renaisance Islam menjadikan syari’at (nilai-nilai yang mengatur interaksi sosial dan proses kehidupan manusia) sebagai ruang-ruang untuk melakukan konseptualisasi dan teoritisasi dalam menjawab persoalan manusia saat ini. Sehingga syari’at tidak dianggap sebagai nilai yang mengkooptasi perkembangan ilmu pengetahuan atau mempersempit ruang-ruang untuk berpikir secara kreatif. Yang ujung-ujungnya adalah Islam lagi-lagi melahirkan stigma di kalangan masyarakat dunia sebagai ajaran yang tidak relevan dan kontekstual dengan kondisi kekinian.
Ini adalah realitas yang masih terkonstruksi masih kokoh dalam stigma pandangan banyak para pemikir dan ilmuwan saat ini. Sehingga tidak ada pilihan bagi pemikir dan ilmuwan Islam melakukan konseptualisasi dan teoritisasi syari’at sebagai panduan kehidupan manusia, dan pada tahap praksis secara empiris harus dibuktikan yang menjawab persoalan yang ada. Yang paling penting kemudian adalah harus tampil prototype seorang intelektual muslim yang akan menjadi pengusung cikal bakal peradaban ilmu pengetahuan itu, mereka menjadi sumber referensi peradaban. Dan perlu diingat adalah untuk melahirkan peradaban besar kita jika butuh akal-akal yang besar, berpihak pada kebaikan umat.
Prototype intelektual Muslim
Perlu ditegaskan kembali bahwa dalam Islam tidak memisahkan akal sebagai salah satu sumber pengetahuan dengan wahyu (firman Tuhan), ia merupakan dua hal yang memiliki relevansi, namun secara kedudukan wahyu berada pada level atas kebenarnya setelah akal. Artinya bahwa ada ruang-ruang besar yang diberikan Islam dalam perkembangan ilmu pengetahuan, adagium ini sekaligus membantah argumentasi yang mengatakan bahwa Islam tidak lebih dari agama ritualitas belaka. Dimana ilmu pengetahuan yang lahir tetap saja berpijak pada nilai-nilai Islam itu sendiri. Yang sekali lagi membedakan antara basis ilmu pengetahuan Islam dengan barat yang cenderung sekuler. Intelektualitas dalam Islam tetap memiliki relevansi dengan keimanan pada Sang penguasa, artinya intelektualitas itu akan menghantarkan kepada bertambahnya keyakinan akan kekuasaan Tuhan. Yang kemudian Prof. Kuntowijoyonya memfamilierkan menyebutnya dengan ilmu sosial profetik., dimana ia merumuskan bahwa intelektual itu seharusnya memiliki peran yang beliau tafsirkan dari QS.Ali-Imron 104), yaitu humanisasi, adalah mengembalikan posisi manusia sesuai dengan fitrahnya. liberasi, adalah pembebasan manusia dari ketertindasan, determinasi kelas yang menjajah kelas yang lain, kemiskinan, dan transedensi adalah ruang-ruang untuk mengakui kekuasaan Tuhan dan meningkatkan keyakinan akan kebesaran Tuhan atas segala yang ada di dunia ini.
Sehingga peran-peran seorang intelektual muda muslim adalah bagaimana kemudian tetap pada koridor-koridor peran profetik (kenabian), sehingga intelektual yang ada adalah bukan intelektual yang berada di menara gading yang jauh dari realitas sosial, namun kesadaran akan peran-peran profetik (kenabian) itulah yang harus dilakukan oleh seorang intelektual. Sehingga intelektualitas yang dimiliki adalah sesuatu hal yang bisa membawa misi-misi perubahan yang lebih baik dalam kehidupan. Intelektualitas yang diinginkan Islam adalah intelektualitas yang memiliki keberpihakan kepada kepentingan kemaslahatan umat bukan saja kepada kepentingan kelas tertentu.
Renaisance Intelektual Muda Muslim Indonesia
Renaisance intelektual muda muslim harus ditangkap sebagai zet geits, dab keniscayaan itu bukan karena hegemoni peradaban barat tetapi lebih karena tanggung jawab moral (ideologis) kita sebagai intelektual muslim untuk menghadirkan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta. Sudah saatnya kita percaya diri dengan Islam, sudah saatnya kita berpikir secara Islami yang menjadi akar dari nilai-nilai kehidupan kita, sudah saatnya tampil para intelektual muda itu lahir dari rahim Negara besar ini. Bangsa ini harus bangkit dari dekadensi moral, kerapuhan paradigma, sinergisitas antara intelektualitas dan spritualitas yang berujung pada berjalannya misi-misi profetik (kenabian). Sehingga tidak ada lagi stigma para intelektual muslim yang rusaknya secara moral, jauh dari keberpihakan pada kebaikan umat.
Akhirnya, menjadi bijak itu butuh keberania, menjadi intelektual itu butuh perjuangan, tapi yang lebih penting adalah intelektual bijak yang memiliki keberpihakan, yaitu keberpihakan pada tegaknya peradaban Islam.
sumber:http://pelangirevolusi.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar