31 Maret 2009

Kaderisasi Intelektual Profetik

Kader adalah rahasia kehidupan dan

kebangkitan berbagai ummat

~ Imam Hasan Al-Banna


INTELEKTUAL profetik adalah intelektual yang memiliki misi kenabian. Ilmu yang diperolehnya ditransformasikan dalam realitas sosial dengat spirit ilahiah. Dalam konteks ini, terjadi kolaborasi dunia “langit” dan dunia “bumi.” Langit adalah simbol spiritual, sedangkan bumi simbol keduniaan, kefanaan.

Siapakah intelektual profetik? Golongan ini jika bisa diumpamakan adalah sekelompok orang yang malam harinya seperti seorang ‘abid (ahli ibadah), dan siangnya digunakan untuk mencerahkan kehidupan umat manusia. Dalam melaksanakan misi sucinya, golongan ini tetap berpegang pada kaidah ilahiah, kaidah universal.

Bagaimana membentuk intelektual profetik? Golongan ini hanya bisa mewujud dalam realitas jika disertai dengan kesadaran bahwa kita adalah makhluk Tuhan. Dia atas segalanya ada Dia Yang Maha perkasa, yang ilmu-Nya meliputi langit dan bumi, yang kekuasaan-Nya tak terhingga. Konsekuensi dari kesadaran ini adalah apapun yang kita lakukan—termasuk dunia intelektual—tetaplah diawasi dan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Yang Maha Kuasa.

Secara sistematis, ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk membentuk generasi cerdas ini.

Pertama, membentuk kesadaran. Kesadaran bisa dibentuk manakala ada ‘an taradhin (saling ridho) antara sang pendidik dan yang dididik. Mana mungkin bisa terjadi keakraban, kesadaran hingga pembelajaran ketika jiwa terancam atau ketika jiwa tidak menentu, tak menerima.

Setelah ada keridhoan dalam mencari ilmu, maka sang calon intelektual perlu menyadari dari ufuk qalbu-nya yang terdalam. Bahwa manusia hanyalah salah satu makhluk Tuhan yang diciptakan di alam ini, dan memiliki fungsi khalifah (pemimpin, pengganti). Sebagai pemimpin, manusia perlu menerapkan nilai-nilai ilahiah dalam keseharian umat manusia. Termasuk juga dalam membentuk teori ilmu pengetahuan.

Sebelum membentuk teori, sang intelektual perlu juga mempelajari ajaran agama secara baik dan benar. Jika paradigma-nya telah baik, maka secara perlahan akan merembes pada wilayah akhlak dan cara pikir. Cara pikir yang baik adalah yang mencerahkan, bukan yang digunakan untuk memuaskan dahaga pribadi atau kelompok semata.

Kedua, adanya tauladan dari sang guru. “Guru kencing berdiri,” kata pepatah, ”murid kencing berlari!” Seorang guru, ketua atau senior yang baik adalah yang memberi contoh pada bawahannya. Ia adalah orang pertama yang mengaplikasikan apa yang ia katakan. Dalam Al-Qur’an, sangatlah dibenci Allah orang yang berkata tapi tidak melaksanakan!

Tauladan yang baik telah dicontohkan banyak guru ternama. Nabi Khidir as. adalah salah seorang itu. Berkat kedalaman ilmunya, ia berhasil mengajarkan Nabi Musa as arti dari ilmu. Begitu juga Rasulullah SAW yang menjadi uswatun hasanah bagi sahabatnya.

Mau menjadi seorang dokter, bergaullah dengan dokter. Dokter yang baik adalah yang memiliki akhlak yang mulia. Dia yang mengobati pasiennya dengan ikhlas, bukan hanya persoalan kerja semata. Begitu juga dengan dosen yang mengajarkan ilmunya pada mahasiswa. Bukan hanya persoalan kewajiban rutinitas saja, akan tetapi lebih dalam dari itu adalah demi kontinyuitas peradaban.

Rata-rata peradaban yang eksis adalah peradaban yang di dalamnya ada transformasi ide dari generasi ke generasi. Menjelmanya pohon ilmu pengetahuan dari akar menjadi batang, ranting, dedaunan hingga menjelma buah. Tiap kita yang mencari ilmu, pasti berada di pohon ilmu itu. Orang yang membuat teori diumpamakan sebagai akar, yang meneruskan sebagai batang dan terakhir membuahkan hasil. Hasil bagi peradaban.

Keteladanan adalah salah satu kunci sukses intelektual profetik. Semakin terpuji akhlak para guru, senior, direktur, ketua, maka akan semakin tertantanglah sang individu menuju kesuksesan. Ada back-up psikologis dari orang yang lebih tua. Tentunya hal itu sangat diharapkan kebanyakan pelajar dalam wilayah apapun.

Ketiga, perlu adanya kelompok kecil yang intensif (intensif small group). Usahakan jangan sampai pengkaderan hanya berhenti pada wilayah formalitas. Paling lama pengkaderan kita seminggu. Biasanya ada juga orang yang langsung berubah paradigma-nya menjadi baik. Akan tetapi, selanjutnya? Tidak ada jaminan ide yang baru saja diterimanya akan terus terpahat dalam dasar hati. Bisa saja hilang atau diletakkan dalam sudut ruangan gelap, pengap dalam jiwa.

Kelompok kecil ini bisa kita contoh dari gerakan Rasulullah ketika mengadakan pengajian di rumah Al-Arqam Bin Abil Arqam. Ketika itu, beberapa anak muda progressif revolusioner dididik secara kontinyu oleh baginda rasul. Akhirnya, alumninya menjadi tokoh dan daya saingnya luar biasa!

Begitu juga dari Mesir. Al-Ikhwan Al-Muslimun, organisasi Islam yang didirikan Imam Hasan Al-Banna berhasil mencetak para aktivis sekaligus intelektual, tanpa over generalisasi. Mereka bukan hanya cerdas secara ruhaniah (transcendental intelligence), akan tetapi juga secara spiritual, jauh sebelum Ian Marshal dan Danah Zohar mengeluarkan bukunya Spiritual Quotient (SQ).

Seorang mahasiswa baru (eksakta) yang mengambil kuliah laboratorium, biasanya akan asistensi. Asistensi sebenarnya adalah konsep pendampingan atau mewakili dosen membimbing mahasiswa menjadi lihai dalam bidang tersebut. Akan tetapi, kadang ada juga yang menjalaninya hanya sekadar formalitas. Seharusnya ada kesadaran yang tinggi, selain dari murid juga dari yang guru untuk memotivasi keberhasilan mahasiswa.

Ketiga aspek di atas meliputi kesadaran personal, perlunya pembimbing dan lingkungan. Menurut penulis jika tiga hal diatas dilaksanakan dengan baik, maka akan membentuk intelektual kita, intelektual profetik. Sadar akan dirinya dan berjuang menyadarkan orang lain.

Tak ada salahnya sedari sekarang kita semua mencoba. “Jika kita berusaha menjadi lebih baik dari diri kita sekarang,” kata Paulo Coelho dalam buku klasiknya Sang Alkemis, “semua yang ada di sekeliling kita pun menjadi lebih baik.” Semoga itulah kenyataan yang kita terima!
sumber: http://yankoer.multiply.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar