08 Maret 2009

Makna Hakiki Maulid Nabi SAW




Kelahiran seorang manusia sebetulnya merupakan perkara yang biasa
saja. Bagaimana tidak? Setiap hari, setiap jam, bahkan setiap menit
dunia ini tidak henti-hentinya menyambut kelahiran bayi-bayi manusia
yang baru. Karena perkara yang biasa-biasa saja, tidak terasa bahwa
dunia ini telah dihuni lebih dari 6 miliar jiwa.

Karena itulah, barangkali, Nabi kita, Rasulullah Muhammad Saw tidak
menjadikan hari kelahirannya sebagai hari yang istimewa, atau
sebagai hari yang setiap tahunnya harus diperingati. Keluarga
beliau, baik pada masa Jahiliah maupun pada masa Islam, juga tidak
pernah memperingatinya, padahal beliau adalah orang yang sangat
dicintai oleh keluarganya. Mengapa? Sebab, dalam tradisi masyarakat
Arab, baik pada zaman Jahiliah maupun zaman Islam, peringatan atas
hari kelahiran seseorang tidak pernah dikenal.

Bagaimana dengan para sahabat beliau? Kita tahu, tidak ada seorang
pun yang cintanya kepada Nabi Muhammad Saw melebihi kecintaan para
sahabat kepada beliau. Dengan kata lain, di dunia ini, para
sahabatlah yang paling mencintai Nabi Muhammad Saw. Namun demikian,
peringatan atas kelahiran (maulid) Nabi Muhammad Saw juga tidak
pernah dilakukan para sahabat beliau itu; meskipun dengan alasan
untuk mengagungkan beliau. Wajar jika dalam Sirah Nabi Saw dan dalam
sejarah otentik para sahabat beliau, sangat sulit ditemukan fragmen
Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw, baik yang dilakukan oleh Nabi
Saw sendiri maupun oleh para sahabat beliau.

Bahkan ketika Khalifah Umar bin al-Khaththab bermusyawarah mengenai
sesuai yang sangat penting dengan para sahabat, yakni mengenai
perlunya penanggalan Islam, mereka hanya mengemukakan dua pilihan,
yakni memulai tahun Islam dari sejak diutusnya Muhammad sebagai
rasul atau sejak beliau hijrah ke Madinah. Akhirnya, pilihan
Khalifah Umar —yang disepakati para sahabat— jatuh pada yang
terakhir. Khalifah Umar beralasan, Hijrah adalah pembeda antara yang
haq dan yang batil (ath-Thabari, Târîkh ath-Thabari, 2/3). Saat itu
tidak ada seorang sahabat pun yang mengusulkan tahun Islam dimulai
sejak lahirnya Nabi Muhammad Saw.

Demikian pula ketika mereka bermusyawarah tentang dari bulan apa
tahun Hijrah dimulai; mereka pun hanya mengajukan dua alternatif,
yakni bulan Ramadhan dan bulan Muharram. Pilihan akhirnya jatuh pada
yang terakhir, karena bulan Muharram adalah bulan ketika orang-orang
kembali dari menunaikan ibadah haji, dan Muharram adalah salah satu
bulan suci (ath-Thabari, ibid.). Saat itu pun tidak ada yang
mengusulkan bulan Rabiul Awwal, bulan lahirnya Rasulullah Saw,
sebagai awal bulan tahun Hijrah.

Realitas tersebut, paling tidak, menunjukkan bahwa para sahabat
sendiri tidak terlalu `memandang penting' momentum hari dan tahun
kelahiran Nabi Muhammad Saw, sebagaimana orang-orang Kristen
memandang penting hari dan tahun kelahiran Isa al-Masih, yang
kemudian mereka peringati sebagai Hari Natal. Itu membuktikan bahwa
para sahabat bukanlah orang-orang yang biasa mengkultuskan Nabi
Muhammad Saw, sebagaimana orang-orang Nasrani mengkultuskan Isa as.
Hal itu karena mereka tentu sangat memahami benar sabda Nabi
Muhammad Saw sendiri yang pernah menyatakan:

Janganlah kalian mengkultuskan aku sebagaimana orang-orang Nasrani
mengkultuskan putra Maryam (Isa as.), karena sesungguhnya aku hanya
sekadar seorang hamba-Nya. [HR. Bukhari dan Ahmad].

Memang, sebagaimana manusia lainnya, secara fisik atau lahiriah,
tidak ada yang istimewa pada diri Muhammad Saw sebagai manusia,
selain beliau adalah seorang Arab dari keturunan yang dimuliakan di
tengah-tengah kaumnya. Wajarlah jika Allah SWT, melalui lisan beliau
sendiri, berfirman:

Katakanlah, "Sungguh, aku ini manusia biasa seperti kalian…" (Qs.
Fushshilat [41]: 6).

Lalu mengapa setiap tahun kaum Muslim saat ini begitu antusias
memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw; sesuatu yang bahkan tidak
dilakukan oleh Nabi Saw sendiri dan para sahabat beliau?

Berbagai jawaban atau alasan dari mereka yang memperingati Maulid
Nabi Muhammad Saw biasanya bermuara pada kesimpulan, bahwa Muhammad
Saw memang manusia biasa, tetapi beliau adalah manusia teragung,
karena beliau adalah nabi dan rasul yang telah diberi wahyu; beliau
adalah pembawa risalah sekaligus penebar rahmat bagi seluruh alam.
Karena itu, kelahirannya sangat layak diperingati. Peringatan Maulid
Nabi Muhammad Saw sendiri tidak lain merupakan sebuah sikap
pengagungan dan penghormatan (ta'zhîman wa takrîman) terhadap beliau
dalam kapasitasnya sebagai nabi dan rasul; sebagai pembawa risalah
sekaligus penebar rahmat bagi seluruh alam.

Walhasil, jika memang demikian kenyataannya, kita dapat memahami
makna Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw yang diselenggarakan
setiap tahun oleh sebagian kaum Muslim saat ini, yakni sebagai
bentuk pengagungan dan penghormatan beliau dalam kapasitasnya
sebagai nabi dan rasul Allah. Itulah yang menjadikan beliau sangat
istimewa dibandingkan dengan manusia yang lain. Keistimewaan beliau
tidak lain karena beliau diberi wahyu oleh Allah SWT, yang tidak
diberikan kepada kebanyakan manusia lainnya. Allah SWT berfirman
(masih dalam surah dan ayat yang sama):

Katakanlah, "Sungguh, aku ini manusia biasa seperti kalian. (Hanya
saja) aku telah diberi wahyu, bahwa Tuhan kalian adalah Tuhan Yang
Maha Esa. Karena itu, tetaplah kalian istiqamah pada jalan yang
menuju kepada-Nya. (Qs. Fushshilat [41]: 6).

Makna Kelahiran Muhammad Saw
----------------------------

Kelahiran Muhammad Saw tentu tidaklah bermakna apa-apa seandainya
beliau tidak diangkat sebagai nabi dan rasul Allah, yang bertugas
untuk menyampaikan wahyu-Nya kepada umat manusia agar mereka mau
diatur dengan aturan apa saja yang telah diwahyukan-Nya kepada Nabi-
Nya itu. Karena itu, Peringatan Maulid Nabi Saw pun tidak akan
bermakna apa-apa —selain sebagai aktivitas ritual dan rutinitas
belaka— jika kaum Muslim tidak mau diatur oleh wahyu Allah, yakni al-
Qur'an dan as-Sunnah, yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad Saw ke
tengah-tengah mereka. Padahal, Allah SWT telah berfirman:

Apa saja yang diberikan Rasul kepada kalian, terimalah; apa saja
yang dilarangnya atas kalian, tinggalkanlah. (Qs. al-Hasyr [59]: 7).

Lebih dari itu, pengagungan dan penghormatan kepada Rasulullah
Muhammad Saw, yang antara lain diekspresikan dengan Peringatan
Maulid Nabi Saw, sejatinya merupakan perwujudan kecintaan kepada
Allah, karena Muhammad Saw adalah kekasih-Nya. Jika memang demikian
kenyataannya maka kaum Muslim wajib mengikuti sekaligus meneladani
Nabi Muhammad Saw dalam seluruh aspek kehidupannya, bukan sekadar
dalam aspek ibadah ritual dan akhlaknya saja. Allah SWT berfirman:

Katakanlah, "Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku."
(Qs. Ali-Imran [3]: 31).

Dalam ayat di atas, frasa fattabi'ûnî (ikutilah aku) bermakna umum,
karena memang tidak ada indikasi adanya pengkhususan (takhshîsh),
pembatasan (taqyîd), atau penekanan (tahsyîr) hanya pada aspek-aspek
tertentu yang dipraktikkan Nabi Saw.

Di samping itu, Allah SWT juga berfirman:

Sesungguhnya engkau berada di atas khuluq yang agung. (Qs. al-Qalam
[68]: 4).

Di dalam tafsirnya, Imam Jalalin menyatakan bahwa kata khuluq dalam
ayat di atas bermakna dîn (agama, jalan hidup) (Lihat: Jalalain,
Tafsîr Jalâlain, jld. 1, hal. 758). Dengan demikian, ayat di atas
bisa dimaknai: Sesungguhnya engkau berada di atas agama/jalan hidup
yang agung. Tegasnya, menurut Imam Ibn Katsir, dengan mengutip
pendapat Ibn Abbas, ayat itu bermakna: Sesungguhnya engkau berada di
atas agama/jalan hidup yang agung, yakni Islam (Ibn Katsir, Tafsîr
Ibn Katsîr, jld. 4, hal. 403). Ibn Katsir lalu mengaitkan ayat ini
dengan sebuah hadis yang meriwayatkan bahwa Aisyah istri Nabi Saw
pernah ditanya oleh Sa'ad bin Hisyam mengenai akhlak Nabi Saw Aisyah
lalu menjawab:

"Sesungguhnya akhlaknya adalah al-Quran." [HR. Ahmad].

Dengan demikian, berdasarkan ayat al-Qur'an dan hadis penuturan
Aisyah di atas, dapat disimpulkan bahwa meneladani Nabi Muhammad Saw
hakikatnya adalah dengan cara mengamalkan seluruh isi al-Qur'an,
yang tidak hanya menyangkut ibadah ritual dan akhlak saja, tetapi
mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Artinya, kaum Muslim
dituntut untuk mengikuti dan meneladani Nabi Muhammad Saw dalam
seluruh perilakunya: mulai dari akidah dan ibadahnya;
makanan/minuman, pakaian, dan akhlaknya; hingga berbagai muamalah
yang dilakukannya seperti dalam bidang ekonomi, sosial, politik,
pendidikan, hukum, dan pemerintahan. Sebab, Rasulullah Saw sendiri
tidak hanya mengajari kita bagaimana mengucapkan syahadat serta
melaksanakan shalat, shaum, zakat, dan haji secara benar; tetapi
juga mengajarkan bagaimana mencari nafkah, melakukan transaksi
ekonomi, menjalani kehidupan sosial, menjalankan pendidikan,
melaksanakan aktivitas politik (pengaturan masyarakat), menerapkan
sanksi-sanksi hukum (`uqûbat) bagi pelaku kriminal, dan mengatur
pemerintahan/negara secara benar. Lalu, apakah memang Rasulullah Saw
hanya layak diikuti dan diteladani dalam masalah ibadah ritual dan
akhlaknya saja, tidak dalam perkara-perkara lainnya? Tentu saja
tidak!

Jika demikian, mengapa saat ini kita tidak mau meninggalkan riba dan
transaksi-transaksi batil yang dibuat oleh sistem Kapitalisme
sekular; tidak mau mengatur urusan sosial dengan aturan Islam; tidak
mau menjalankan pendidikan dan politik Islam; tidak mau menerapkan
sanksi-sanksi hukum Islam (seperti qishâsh, potong tangan bagi
pencuri, rajam bagi pezina, cambuk bagi pemabuk, hukuman mati bagi
yang murtad, dan lain-lain); juga tidak mau mengatur
pemerintahan/negara dengan aturan-aturan Islam? Bukankah semua itu
justru pernah dipraktikan oleh Rasulullah Saw selama bertahun-tahun
di Madinah dalam kedudukannya sebagai kepala Negara Islam (Daulah
Islamiyah)?

Kelahiran Nabi Saw: Kelahiran Masyarakat Baru
---------------------------------------------

Sebagaimana diketahui, masa sebelum Islam adalah masa kegelapan, dan
masyarakat sebelum Islam adalah masyarakat Jahiliah. Akan tetapi,
sejak kelahiran (maulid) Muhammad Saw di tengah-tengah mereka, yang
kemudian diangkat oleh Allah sebagai nabi dan rasul pembawa risalah
Islam ke tengah-tengah mereka, dalam waktu hanya 23 tahun, masa
kegelapan mereka berakhir digantikan dengan masa `cahaya';
masyarakat Jahiliah terkubur digantikan dengan lahirnya masyarakat
baru, yakni masyarakat Islam. Sejak itu, Nabi Muhammad saw. adalah
pemimpin di segala bidang. Ia memimpin umat di masjid, di
pemerintahan, bahkan di medan pertempuran.

Karena itu, kita bisa menyimpulkan bahwa makna terpenting dari
kelahiran Nabi Muhammad Saw adalah keberadaannya yang telah mampu
membidani kelahiran masyarakat baru, yakni masyarakat Islam; sebuah
masyarakat yang tatanan kehidupannya diatur seluruhnya oleh aturan-
aturan Islam.

Renungan
--------

Walhasil, Peringatan Maulid Nabi Saw sejatinya dijadikan momentum
bagi kaum Muslim untuk terus berusaha melahirkan kembali masyarakat
baru, yakni masyarakat Islam, sebagaimana yang pernah dibidani
kelahirannya oleh Rasulullah Saw di Madinah. Sebab, siapapun tahu,
masyarakat sekarang tidak ada bedanya dengan masyarakat Arab pra-
Islam, yakni sama-sama Jahiliah. Sebagaimana masa Jahiliah dulu,
saat ini pun aturan-aturan Islam tidak diterapkan.

Karena aturan-aturan Islam —sebagaimana aturan-aturan lain— tidak
mungkin tegak tanpa adanya negara, maka menegakkan negara yang akan
memberlakukan aturan-aturan Islam adalah keniscayaan. Inilah juga
yang disadari benar oleh Rasulullah Saw sejak awal dakwahnya.
Rasulullah Saw tidak hanya menyeru manusia agar beribadah secara
ritual kepada Allah dan berakhlak baik, tetapi juga menyeru mereka
seluruhnya agar menerapkan semua aturan-aturan Allah dalam seluruh
aspek kehidupan mereka. Sejak awal, bahkan para pemuka bangsa Arab
saat itu menyadari, bahwa secara politik dakwah Rasulullah Saw akan
mengancam kedudukan dan kekuasaan mereka. Itulah yang menjadi alasan
orang-orang seperti Abu Jahal, Abu Lahab, Walid bin Mughirah, dan
para pemuka bangsa Arab lainnya sangat keras menentang dakwah
Rasulullah Saw. Akan tetapi, semua penentangan itu akhirnya dapat
diatasi oleh Rasulullah Saw sampai beliau berhasil menegakkan
kekuasaannya di Madinah sekaligus melibas kekuasaan mereka.

Walhasil, dakwah seperti itulah yang juga harus dilakukan oleh kaum
Muslim saat ini, yakni dakwah untuk menegakkan kekuasaan Islam yang
akan memberlakukan aturan-aturan Islam, sekaligus yang akan
meruntuhkan kekuasaan rezim kafir yang telah memberlakukan aturan-
aturan kufur selama ini. Hanya dengan itulah Peringatan Maulid Nabi
Saw yang diselenggarakan setiap tahun akan jauh lebih bermakna.

Wallâhu a'lam bi ash-shawâb.
sumber : [majalah al-wa'ie, Edisi 56]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar