08 Maret 2009

Ibnu Rusyd

Ibnu Rusyd; sang filosuf peletak tonggak perbedaan (tulisan pertama)

Gus Welirang
Wed, 26 Apr 2006 18:55:39 -0700

Ibnu Rusyd; sang filosuf peletak tonggak perbedaan (tulisan pertama)

Nama lengkapnya adalah Abdul Walid Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu
Rusyd. Ia dilahirkan di Cordova Spanyol pada tahun 520 H/1126 M. di Barat,
Ibnu Rusyd dikenal dengan nama Averrous. Ia berasal dari kalangan keluarga
besar yang dikenal dengan keutamaan dan mempunyai kedudukan tinggi di
Andalusia (Spanyol). Ayahnya adalah seorang hakim, dan neneknya yang dengan
sebutan "Ibnu Rusyd Nenek"(al-Jaddah) adalah kepala hakim di Cordova.

Lingkungan yang sangat kondusif itulah yang membuat Ibnu Rusyd kecil haus
ilmu pengetahuan, ia tumbuh menjadi anak yang memiliki kejeniusan luar
biasa. Pada usia anak-anak saat itu, Ibnu Rusyd sudah mempelajari berbagai
disiplin ilmu, seperti Al-Qurán, hadits, fiqih, serta mendalami ilmu-ilmu
eksak seperti matematika, astronomi, logika, filsafat dan kedokteran. Karena
itulah, ketika Ibnu Rusyd tumbuh dewasa, ia terkenal dengan ilmuwan yang
ahli dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan.

Pada mulanya Ibnu Rusyd mendapat tempat yang terbaik di sisi khalifah Abu
Yusuf Al-Mansyur, Amir ketiga dinasti Muwahhidun 1184 H. Ia pernah mendapat
amanat sebagai qadil (hakim) di Sevilla (Spanyol) dan sebagai qadlil qudlat
(hakim agung) di Cordova. Namun sayang, karena ajaran filsafatnya banyak
ulama yang tidak menyukainya, bahkan ada yang sampai mengkafirkan Ibnu
Rusyd. Ada juga sekelompok ulama yang berusaha untuk menyingkirkan dan
memfitnah bahwa dia telah menyebarkan ajaran filsafat yang menyimpang dari
ajaran Islam. Atas tuduhan itulah, Ibnu Rusyd hingga diasingkan oleh
pemerintah ke suatu tempat bernama Lucena. Tidak hanya itu, banyak diantara
karya-karya filsafatnya dibakar dan diharamkan untuk dipelajari.

Setelah beberapa orang terkemuka dapat menyakinkan khalifah Al-Mansur
tentang kebersihan dari Ibnu Rusyd dari fitnah dan tuduhan tersebut, maka ia
baru dibebaskan. Akan tetapi tidak lama kemudian fitnah dan tuduhan seperti
semula kembali terulang. Sebagai akibatnya, pada kali ini Ibnu Rusyd
diasingkan ke Negeri Maghribi (Maroko). Di sanalah kemudian Ibnu Rusyd
menghabiskan sisa-sisa umurnya hingga datangnya ajal menjemputnya pada tahun
1198 M.

Pemikiran Ibnu Rusyd
Ketika kita membaca sejarah Ibnu Rusyd, maka kita akan mendapatkan sesuatu
yang lebih menonjol pada dirinya, yakni pemikirannya di bidang filsafat
(estetika, logika, dan filsafat) yang hampir kita temukan di hampir semua
karya-karya tulisannya. Menurutnya, nilai filsafat dan logika itu sangat
penting, khususnya dalam menta'wilkan dan menafsirkan Al-Qurán sebagai kitab
teks yang selalu membutuhkan artikulasi makna dan bukan artikulasi lafadz.

Ibnu Rusyd melanjutkan, bahwa Islam sendiri tidak melarang orang untuk
berfilsafat, bahkan Al-Qurán sendirti dalam banyak ayat memerintahkan
umatnya untuk mempelajari filsafat. Menurut Ibnu Rusyd, takwil (penafsiran)
dan interprestasi teks dibutuhkan untuk menghindari adanya pertentangan
antara pendapat akal dan filsafat serta teks Al-Qurán. Ia memaparkan, takwil
yang dimaksud di sini adalah meninggalkan arti harfiyah ayat dan mengambil
arti majasinya (analogi) hal ini pula yang dilakukan oleh para ulama klasik
periode awal dan pertengahan.

Dalam kaitannya dengan kedudukan Al-Qurán, Ibnu Rusyd membagi manusia
menjadi tiga kelompok; awam, pendebat, dan ahli fikir. Untuk kelompok orang
awam, Al-Qurán tidak dapat ditakwilkan, karena mereka hanya bisa memahami
secara tertulis. Demikian juga bagi kelompok pendebat, takwil sudah
diterapkan. Takwil secara tertulis dalam bentuk karya, hanya bisa
diperuntukkan bagi kelompok ahli fikir.

Dalam cara pandang itulah takwil atas teks secara benar dapat dilakukan dan
dipahami oleh ahli fikir. Pemikiran Ibnu Rusyd ini kemudian dikenal dengan
teori perpaduan agama dan filsafat. Sementara itu, menyangkut pemaknaan
Al-Qurán, ia berpendapat bahwa A-Qurán memiliki dua makna, makna batin dan
makna lahir.

Berkaitan dengan penciptaan alam, Ibnu Rusyd dengan menganut teori
kasualitas (hukum sebab akibat), berpendapat bahwa memahami alam harus
dengan dalil-dalil tertentu agar dapat sampai kepada hakekat daneksistensi
alam. Setidaknya ada tiga dalil untuk menjelaskan teori ini. Pertama, dalil
inayah (pemeliharaan). Kedua, dalil ikhtira' (penciptaan). Ketiga dalil
penggerak. Dalil inayah yakni dalil yang mengemukakan bahwa alam dan seluruh
kejadian yang ada di dalamnya, seperti siang dan malam, matahari dan bulan,
semuanya menunjukkan adanya penciptaan yang teratur dan rapi yang didasarkan
atas ilmu dan kebijaksanaan. Dalil ini mendorong orang untuk melakukan
penyelidikan dan penggalian yang terus menerus sesuai dengan pandangan akal
pikirannya. Dalil ini pula yang akan membawa kepada pengetahuan yang benar
sesuai dengan ketentuan dalam Al-Qurán.

Sedangkan dalil ikhtira' merupakan asumsi yang menunjukkan bahwa penciptaan
alam dan makhluk di dalamnya tampak jelas dalam gejala-gejala yang dimiliki
makluk hidup, semakin tinggi tingkatan makhluk hidup itu, semakin tinggi
pula berbagai macam kegiatan dan pekerjaannya. Hal ini tidak terjadi secara
kebetulan, sebab apabila terjadi secara kebetulan tentu saja tingkatan hidup
ini tidak berbeda-beda. Inilah yang menunjukkan bahwa semuanya ada yang
menciptakan dan mengaturnya. Dalil ini sesuai dengan syariat Islam, dimana
banyak ayat yang menunjukkan perintah untuk memikirkan seluruh kejadian di
alam ini.

Adapun dalil yang ketiga yakni gerak atau disebut juga sebagai penggerak
pertama diambil dari aristoteles. Dalil ini mengungkapkan bahwa alam semesta
bergerak dengan sesuatu gerakan yang abadi, dan gerakan ini mengandung
penggerak pertama yang tidak bergerak dan berbeda, yaitu Tuhan.

Menurut Ibnu Rusyd, benda-benda langit beserta gerakannya dijadikan oleh
Tuhan dari tiada dan bukan dalam zaman. Sebab zaman tidak cukup mendahului
wujud perkara yang bergerak, selama zaman itu masih kita anggap sebagai
ukuran gerakannya. Jadi gerakan menghendaki adanya penggerak pertama atau
suatu sebab yang mengeluarkan dari tiada menjadi ada. Substansinya yang
lebih dahulu itu yang memberikan wujud kepada substansi yang kemudian tanpa
memerlukan kepada pemberian form (Tuhan) yang ada di luarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar